. Tasawuf
Tasawuf menurut bahasa Arab, berarti memakai pakaian dari suf (bulu domba yang kasar). Orang yang memakainya dapat disebut sufi atau mutasawwif. Memakai pakaian dari bulu domba yang kasar itu merupakan praktek yang lumrah di kalangan orang-orang yang miskin atau mereka yang hidup dalam kesederhanaandi kawasan Arab dan sekitarnya pada masa lalu (jauh sebelum datangnya Islam dan juga pada masa setelah datangnya Islam).
Yang lain menyebut etimologi sufi berasal dari ashab al-suffa (sahabat beranda) atau ahl al-suffa (orang-orang beranda). Sebutan ini mengarah pada sekelompok muslim pada waktu Nabi Muhammad yang menghabiskan waktu mereka di beranda mesjid Nabi, mendedikasikan waktunya untuk berdoa.
Banyak pendapat pro dan kontra mengenai asal-usul ajaran tasawuf, apakah ia berasal dari luar atau dari dalam agama Islam sendiri. Sebagian pendapat mengatakan bahwa paham tasawuf, apakah ia berasal dari luar atau dari dalam agama Islam sendiri. Sebagian pendapat mengatakan bahwa paham tasawuf merupakan paham yang berkembang sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasulullah. Dan orang-orang Islam baru di daerah Irak dan Iran (sekitar abad 8 Masehi) yang sebelumnya merupakan orang-orang yang memeluk agama non-islam atau menganut paham-paham tertentu. Meski sudah masuk Islam, hidupnya tetap memelihara kesahajaan dan menjauhkan diri dari kemewahan dan kesangan kedunian.
Seperti diketahui dalam sejarah, pada zahid besar dalam abadke-8 Masehi (abad ll Hijriyah) seperti Hasan al Basri, Abu Hasyim al-Kufi, Sufyan as-sauri, Fudail bin Iyad, Rabi’ah al-‘Adawiyah, dan Ma’ruf al karkhi dan lebih-lebih mereka yang hidup pada abad-abad berikutnya (seperti al-Bistami, al-Hallaj, Junaidi al-Baghdadi, al-Harawi, al-Ghazali, Ibnu Sab’in, Ibnu Arabi, Ibnu al Farid, Jalaludin Rumi) telah mengolah dan mengembangkan sikap atau emosi agama dalam hati mereka dan kesungguhan yang luar biasa.
Mereka dengan tekanan yang bervariasi telah mengembangkan emosi takut pada Tuhan atau azab-Nya, sikap zuhud (sikap tidak tertarik) atau tak peduli dengan kesenangan duniawi), sikap wara (hanya mau mengambil yang halal, dan pantang mengambil yang diragukan kehalangan apalagi yang haram ), sikap qana’ah (merasa cukup dengan rezeki yang halal betapapun sedikitnya), sikap sabar dalam menahan suka duka kehidupan di jalan Tuhan, emosi ridho pada Tuhan (senang pada-Nya dalam segala situasi), sikap ingat selalu kepada-Nya, sikap kusyuk dan bertekun dalam ibadat (salat,puasa,zikir), emosi cinta pada-Nya dan lain-lain, sedemikian rupa sehingga mereka betul-betul merasakan kehadiran Allah dalam hati mereka atau merasa sangat dekat dengan-Nya.
Menurut Dr Yusup Al Qaradhawi, agama-agama di dunia ini banyak sekali yang menganut berbagai macam tasawuf, di antaranya ada sebagian orang India yang amat fakir. Mereka condong menyiksa diri sendiri demi membersihkan jiwa dan meningkatkan amal ibadatnya.
Dalam agama Kristen terdapat aliran tasawuf khususnya bagi para pendeta. Di yunani muncul aliran Ruwagiyin. Di Persia ada aliran yang bernama mani’; dan di negeri-negeri lainnya banyak aliran ekstrem di bidang rohaniah. Kemudian islam datang dengan membawa perimbangan yang paling baik di antara kehidupan rohaniah dan jasmaniah serta penggunaan akal.
Maka, insan itu sebagaimana digambarkan oleh agama, yaitu terdiri dari tiga unsur: roh, akal, dan jasad. Masing-masing dari tiga unsur itu diberi hak sesuai dengan kebutuhannya. Ketika Nabi SAW melihat salah satu sahabatnya berlebih-lebihan dalam satu sisi, sahabat itu segera ditegur. Sebagaimana yang terjadi pada Abdullah bin Amr bin Ash. Ia berpuasa terus menerus tidak pernah berbuka, sepanjang malam beribadat, tidak pernah tidur, serta meninggalkan istri dan kewajibanya. Lalu Nabi SAW meneggurnya dengan sabdanya, ”Wahai Abdullah, sesungguhnya bagi dirimu ada hak (untuk tidur), bagi istri dan keluargamu ada hak (untuk bergaul), dan bagi jasadmu ada hak. Maka, masing-masing ada haknya.” (Ghib dari berbagai sumber)