Umar bin Khathab

Oleh :Syafril Teha Noer

Umar bin KhathabSELAIN keras, tegas, dan adil, kegemaran akan inkognito, inspeksi mendadak dan diam-diam, adalah di antara kenangan kuat ummat pada kepemimpinan Umar bin Khathab – pengganti Khalifah Abubakar Ash Shiddiq.

Bukan hanya menyerahkan penanganan urusan-urusan kepada bawahan, apalagi lembaga survey dan pasukan buzzer, data dan info beliau konfirmasi, dengan mendatangi rakyat – pihak terpenting dalam penetapan dan penerapan kebijakan pemerintahan. Tanpa publikasi. Tanpa konvoi pengawalan. Langsung pula beliau sikapi, jika perlu secara swadaya, manakala situasi memerlukan solusi segera.

Begitulah tarikh mencatat, tatkala suatu malam beliau dapati seorang ibu memasak batu, untuk ‘menipu’ tiga anak yang kelaparan. Bergegas pulang lalu kembali dengan memanggul sendiri sekarung gandum, dan menyerahkannya kepada ibu papa itu. “Segera kenyangkan anak-anakmu,” kata beliau.

Perempuan perkasa itu tak menyangka Sang Khalifah mendatanginya. Ketiadaan bahan pangan selama ini dia rahasiakan – sebagaimana agama melarang menunjuk-nunjukkan derita pribadi. Jangankan dirinya, bahkan para tetangga tak mengumbarnya, memviralkannya kepada khalayak. Umar Sang Penguasa justru yang pertama mengetahuinya. Bukan ketua RT, RW, atau lurah, camat, walikota, bupati, gubernur, menteri atau pejabat yang membidangi.

Sebetulnya tidak sulit mengumumkan rencana bagi-bagi sembako bagi kaum miskin. Apatah pula di negeri yang kaya namun melarat akut. Jejalan manusia akan seketika terbentuk dan menyesaki jalan sampai halaman rumah pejabat dan orang kaya, atau pejabat yang sekaligus orang kaya. Sangat mudah mengerahkan aparat intelejen, kemudian menugasi staf menyebarkan santunan. Atau menghambur-hamburkan santunan itu dari kendaraan, di sepanjang jalan yang dilalui.

Umar bin Khathab tidak begitu. Beliau menjalankan tindakan diam-diam. Beliau bukanlah anggota paguyuban tuna popularitas. Beliau tidak memerlukannya. Sangat mungkin karena tiga motif ini;

Pertama, mencocokkan laporan bawahan dengan realitas di lapangan, dan memastikan kebijakan dan kepemimpinan beliau memberi rakyat maslahat. Riil. Tidak dibuat-buat. Tidak di-mark up atau mark down.

Kedua, menakar kinerja para pembantu, apakah memang meladeni rakyat, atau malah jumpalitan, menghirup-hirup, menjilat-jilat, demi citra di mata pucuk pimpinan. Dengan ini beliau tanamkan rambu-rambu, ‘jangan rakyat kau jadikan jargon tipu-tipu, sebab yang kau tuju sejatinya adalah kepentinganmu sendiri – kedudukan dan rejekimu sendiri’ – ‘jangan kau kira aku percaya begitu saja keindahan komitmen pada kata-katamu, aku akan mengujinya’.

Ketiga, menunaikan ajaran agama – yang melarang kebaikan diperlakukan sebagai komoditas, alat, bahan, untuk pamer, riya, yang lagi-lagi cuma demi mengatrol ‘reputasi’ si penunai – agar tercitra dermawan, perduli wong cilik. Dus, tidak semata sebagai ibadah kepada Allah SWT – Dia Yang Maha Tahu, kendatipun keburukan dan kebaikan dilakukan sehalus virus corona.

Muslim sesungguhnya beruntung, memiliki begitu banyak ajaran dan contoh kebaikan. Tetapi Muslim sesungguhnya pun merugi, rugi serugi-ruginya, bila membiarkan semua ajaran dan contoh kebaikan itu sekadar barang koleksi atau benda museum berdebu – kehilangan daya dorong pada sikap dan perilaku. (Ketua dewan Kesenian kaltim/Wartawan Senior)

 

Bagikan

Comments are closed.