“Maunya, di setiap sudut kota, di Teras Samarinda, di Citra Niaga, di Pasar Pagi, ada barcode untuk di-scan. Setiap orang bisa tahu Kisah-kisah Samarinda Tempo Dulu melalui layar HP. Jadi gak bete kalau nunggu.”
Seorang peserta “Arsitektur Samarinda dalam Bingkai Literasi”, Jumat, 11 Oktober malam di Mahakam Lampion Garden berunjuk saran.
Saran itu dipicu oleh presentasi Amien Wangsitalaja, sastrawan dari Kantor Bahasa Kaltim. Sontak saran itu disambut baik Gen_Z dan Gen_A yang jadi peserta. Amien menyarankan perlunya dipikirkan ada pojok-pojok baca di setiap sudut kota terutama di area publik.
“Kalau terkendala biaya karena berkaitan dengan lahan, bangunan dan penjaga, bisa saja dengan barcode yang bisa discan pengunjung.”
“Jadi Kisah-Kisah Samarinda Tempo Dulu karya Pak Syafruddin Pernyata bisa dibaca melalui barcode itu. Gimana, Pak?” Tanya Amien sambil menoleh kepada saya.
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, saya nyatakan dulu apresiasi pada ‘gawe’ Rumah Pendidikan Tirtonegoro, diketuai Rohmat Azazi, yang telah menggelar acara ini.
“Buku itu berisi 30 bab kisah-kisah Samarinda Tempo Dulu. Kalau setiap bab itu dijadikan bahan bacaan dengan cara memindai barcode-nya, tentu menarik. Tapi saya tidak mau gratis, harus beli hak ciptanya.😊”
Peserta dialog tertawa. Saya tersinggung.
“Kita senantiasa menghargai jerih payah pekerja, cucuran keringat mereka. Mengapa kita tidak belajar menghargai hak cipta?” Saya berusaha terlihat serius.
Saya tetap memasang wajah sungguh-sungguh dan menyatakan, “Sebagai pensiunan, uang itu tidak perlu tapi penting.”. (Safrudin P)