Dahlan Peliput MTQ IX 1976 di Samarinda
Catatan Rizal Effendi
RASANYA saya masih bergabung di Humas Pemprov Kaltim ketika MTQ Nasional IX digelar di kota Samarinda tahun 1976. Tapi saya ingat betul wartawan lokal yang menjadi peliput aktif acara itu adalah Dahlan Iskan (DI), yang saat itu menjadi wartawan mingguan Mimbar Masyarakat.
Ada dua tokoh di balik koran itu. H Sayid Alwy AS dan Suhaimi Zakaria. Keduanya jago menulis. Suhaimi sudah meninggal dunia, sedang Pak Alwy alhamdulillah masih sehat. Beliau adalah suami Prof Suwinnah Alwy AS, mantan dekan Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman (Unmul).
Dahlan banyak belajar dari Pak Alwy dan Suhaimi. Rasanya waktu meliput MTQ, Dahlan berusaha menjadikan Mimbar Masyarakat terbit harian. Walaupun dengan cara sederhana. Model stensilan. Yang penting liputan MTQ bisa dibaca besoknya.
Sayid Alwi AS, Pimpinan Umum/Penanggung jawab SKM Mimbar Masyarakat (Kanan) dimana Dahlah Iskan pertama kali terjun di dunia pers.
Pada saat itu ada beberapa koran lokal yang juga terbit mingguan. Di antaranya Meranti dengan tokohnya Hiefni Effendi, Wisma Berita dengan H Syahrumsyah Idris, Sampe dengan Sudin Hadimulya, Suara Kaltim dengan Saleh Jaya dan Fuad Arieph serta BS Jaya dengan Arbain NS.
Dahlan melakukan liputan dengan naik sepeda dan bersandal jepit. Terkadang jalan kaki. Tapi dia gigih mengisyaratkan tekadnya agar di Kaltim ada koran harian. Cita-citanya itu baru terwujud 12 tahun kemudian dengan lahirnya Harian ManuntunG atau yang dikenal dengan nama sekarang Kaltim Post, 5 Januari 1988.
Samarinda adalah kampung halaman kedua bagi Dahlan, meski dia lahir di Magetan, Jatim. Istrinya, Nafsiah Sabri, kelahiran Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara. Mereka menikah tahun 1975 di Samarinda, setahun sebelum MTQ Nasional IX berlangsung. Usianya waktu itu 25 tahun, menyewa rumah kecil di tepi Sungai Karang Mumus.
Sekarang Dahlan sudah berusia 73 tahun. Tinggal di Surabaya. Punya 2 anak dan beberapa cucu. Berarti peristiwa MTQ itu sudah 47 tahun silam dihitung dari usianya.
Gubernur Kaltim pada tahun 1976 adalah Abdoel Wahab Sjahranie, jenderal orang Banjar. Namanya diabadikan di rumah sakit milik provinsi, RSUD AWS. Sedang Wali Kota Samarinda adalah HM Kadrie Oening, yang namanya diabadikan di kompleks olahraga Sempaja, Samarinda Utara, tempat pembukaan MTQ Nasional XXX.
Kedua-duanya adalah kepala daerah yang sangat agamis. Karena itu MTQ Nasional IX dibuat seindah dan semeriah mungkin. Pembukaannya dipusatkan di Stadion Segiri, yang baru rampung dibangun oleh Kadrie Oening. Adalah Presiden Soeharto yang datang meresmikan. Dia didampingi Ibu Tien Soeharto.
Suasana Pawai Ta’aruf MTQ IX Tahun 1976 di Samarinda.(Istimewa)
Setelah MTQ Nasional IX, saya masih ikut meliput MTQ Nasional X di Manado. Saya bersama Pak Harsono, kameramen terkenal Humas Pemda Kaltim. Kami tidur di rumah penduduk, yang beragama Nasrani. Tapi ikut mendukung suksesnya pelaksanaan MTQ, yang pembukaannya oleh Presiden Soeharto di Stadion Klabat.
Saya masih berada di Humas Pemprov Kaltim saat itu. Menjadi wartawan koran yang diterbitkan Humas sekaligus menjadi kameramen. Kebetulan kepala humasnya adalah Pak Abdurrahman Abas, ayahanda Rektor Untag Samarinda sekarang Dr Marjoni Rachman.
Pak Abdurrahman pandai menulis seperti layaknya seorang wartawan profesional. Dia juga orang Banjar. Selain dengan DI, saya juga banyak belajar dengan beliau.
Presiden Soeharto menyeberangi Sungai Mahakam lewat kapal feri untuk membuka MTQ.(Intuisi/Istimewa)
MTQ Nasional XXX menjadikan Samarinda sudah dua kali menjadi tuan rumah ajang seni lomba membaca Al Quran tingkat nasional. Jaraknya cukup lama. Bayangkan dari tahun 1976 ke 2024. Itu berarti sekitar 48 tahun.
Peserta MTQ Nasional IX hanya diikuti 189 orang dari 26 provinsi. Sedang MTQ Nasional XXX jumlah pesertanya 1.998 orang dari 35 provinsi. Jadi lebih 10 kali lipat lonjakannya. Maklum jenis lombanya sudah banyak cabangnya. Mulai tilawatil, qiraat, tartil, tahfizh, tafsir, fahmil, sampai syarhil Quran dan lainnya.
Ketika membuka MTQ Nasional XXX, Presiden Jokowi mengajak kepada semua peserta menampilkan kemampuan terbaiknya dalam membangun generasi berakhlak Qurani untuk kemajuan Bangsa Indonesia.
JADI JUARA UMUM
Yang menarik pada MTQ Nasional Tahun 1976, di luar dugaan Kaltim meraih gelar juara umum menyusul terpilihnya Ali Yusni dan Qustaniah menjadi qori dan qoriah terbaik 1 tingkat dewasa. Pada tahun yang sama Ali Yusni juga meraih gelar Johan Pertama MMQ Antarbangsa di Kuala Lumpur Malaysia. Kalau tidak salah ini prestasi qori Indonesia pertama yang merebut gelar itu.
Qustaniah sudah meninggal dunia, sedang Ali Yusni setelah pensiun dari Biro Bansos Kantor Gubernur Kaltim bersama istrinya tinggal di Batu, Malang, Jawa Timur. Itu tanah kelahirannya. Dalam usia 71 tahun, dia dikaruniai 4 anak dan 11 cucu.
Ali Yusni dan istrinya
Kok tidak hadir di MTQ sekarang? “Maaf saya tidak diundang,” katanya. Kabar lain menyebutkan ada miskomunikasi, sehingga undangan tak sampai ke alamatnya.
Berkat MTQ Nasional 1976, jalan darat non tol Samarinda-Balikpapan berhasil dikerjakan oleh Projakal. Jalan itu mulai dirintis sejak 1959. Tapi belum ada jembatan Mahakam. Jadi mobil harus menyeberang menggunakan feri. Yang terkenal saat itu adalah pelabuhan feri Sungai Kunjang.
Ketika Presiden Soeharto dari perjalanan dari Balikpapan ke Samarinda berhenti sejenak di sebuah bukit atau tanjakan, persis di tengah perjalanan, maka bukit tersebut belakangan dikenal dengan nama Bukit Soeharto di Km 50-an.
Kawasan Bukit Soeharto seluas 61.850 hektar akhirnya ditetapkan sebagai Taman Hutan Raya Bukit Soeharto dan sebagian menjadi Hutan Pendidikan dan Pelatihan Bukit Soeharto oleh Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda.
Selain jalan darat Samarinda-Balikpapan rampung menyambut MTQ, juga jalan darat dari Samarinda, Loa Janan dan Tenggarong.
Hotel Mesra Samarinda milik H Rusli juga dibangun untuk menyambut tamu-tamu MTQ IX. Sebelumnya di Samarinda hanya terdapat hotel kecil, sehingga sebagian kafilah dari berbagai daerah diinapkan di rumah-rumah penduduk.
Uniknya, pada pelaksanaan MTQ IX dan XXX, Pemkot Samarinda punya proyek yang sama. Yaitu sama-sama membenahi tepian Mahakam dan Pasar Pagi. Saat ini bangunan lama Pasar Pagi dibongkar habis, sedang Tepian Mahakam tengah dibenahi diantaranya diwujudkan menjadi Teras Samarinda, yang indah dan asri. “Teras Samarinda untuk menyambut tamu-tamu MTQ,” kata Wali Kota Andi Harun.
Dulu Sungai Mahakam hanya disibukkan dengan lalu lintas perahu ketinting serta kapal kayu barang dan manusia menuju pedalaman. Atau puluhan rakit kayu gelondongan, tapi sekarang disesaki dengan ratusan kapal ponton pengangkut ribuan ton batu bara.
Sebelum membuka MTQ Nasional IX, Presiden Soeharto sempat berkunjung ke kompleks industri kayu PT Inhutani I di kawasan Karang Asam, Teluk Lerong Ulu. Berkat perjuangan Gubernur Suwarna AF, di kawasan itu berhasil dibangun Islamic Center Samarinda dengan bangunan utamanya Masjid Baitul Muttaqien.
Ini masjid terbesar kedua di Asia Tenggara dengan daya tampung 45 ribu jamaah. Peletakan batu pertamanya oleh Presiden Megawati Soekarnoputri 5 Juli 2001 dan peresmian penggunaannya oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 16 Juni 2008.
Teras Samarinda di Tepian sungai Mahakam deoan Kantor Gubernur Kaltim
Arsitekturnya mengadopsi gaya Eropa, Timur Tengah dan Indonesia. Model kubahnya mirip kubah Masjid Hagia Sophia Turki. Tiga dari 7 menaranya tinggi 99 meter melambangkan 99 Asmaul Husna atau nama-nama Allah.
Ketua Samarinda Islamic Center adalah Awang Dharma Bakti (ADB). Dia adalah mantan Kadis PU Kaltim, yang terlibat dalam pembangunan kawasan pusat peradaban syiar Islam dan objek wisata religi itu. “Saya ingin berbakti dan beribadah di tempat ini,” katanya.
Banyak yang berharap di MTQ Nasional XXX yang diketuai Sekprov Sri Wahyuni, Kaltim meraih dua sukses. Sukses penyelenggaraan dan sukses meraih prestasi. Mudah-mudahan muncul lagi Ali Yusni dan Qustaniah baru dari generasi milenial, Z dan Alpha. Insyaallah.(*)