Kebenaran Baru di IKN

Oleh: Dr. Ir. Sunarto Sastrowardojo, M.Arch

272

SAYA tergelitik dengan pernyataan jurnalis senior yang sedang mengejar gelar honorus clausa tentang kebenaran baru. Katanya kebenaran saat ini tidak cukup jika hanya berdasarkan fakta. Kebenaran baru itu, saat ini, katanya lebih berbasis persepsi. Celakanya menurut pemahaman saya dalam persoalan kebenaran adalah yang memiliki bukti fakta. Seperti definisi kebenaran absolut itu, jika manusia tidak bisa membantah. Misalnya satu ditambah satu adalah dua.

Tapi sebelum tulisan ini saya lanjutkan. Saya ingin menegaskan dulu bahwa persepsi itu pengalaman tentang obyek, peristiwa atau hubungan hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.

Secara etimologis, persepsi berasal dari Bahasa Latin, perception atau dari percipire yang artinya menerima atau mengambil. Lalu entah apa namanya, persepsi yang ada di dunia saat ini jika mampu mengubah kebenaran menjadi kebenaran baru.

Keterbukaan dunia dengan teknologi informasi. Munculnya media sosial, menurut saya tidak akan pernah menggeser fungsi media mainstream atau media cetak atau media konvensional, salah satu tempat buat saya mendidik nalar kritis.

Media sosial yang sebegitu terbuka, nyaris menggantikan televisi yang ketika saya masih muda merupakan media kebenaran. Hanya empat dari seratus orang saat itu yang tidak menyaksikan tayangan televisi.

Lalu soal fakta tentang IKN, yang disampaikan Joko Widodo di Istana Negara, 26 Agustus 2019, misalnya. Faktor sosial, ekonomi, politik, budaya, pertahanan dan keamanan, bahkan sampai dengan potensi bencana alam menjadi pertimbangan pentingnya IKN dipindahkan dari Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta.

Kepadatan penduduk yang tidak merata dan cenderung terkonsentrasi di Pulau Jawa telah berdampak pada kesenjangan dalam berbagai aspek dan stagnasi ekonomi yang tidak kunjung dapat diperbaiki.
Kesenjangan sosial ekonomi dan kependudukan merupakan salah satu faktor pendorong rencana pemindahan IKN Republik Indonesia. Sekitar 57,4% penduduk Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa. Sementara sebaran penduduk di Sumatera sebesar 17,9%, Bali dan Nusa Tenggara 5,5%, Kalimantan 5,81%, Sulawesi 7,31%, Maluku dan Papua 2,61%.

Padatnya jumlah penduduk di Pulau Jawa menunjukkan adanya aglomerasi pembangunan dan kemajuan yang tinggi di Jawa dan sebaliknya ketertinggalan di wilayah lainnya. Pemindahan IKN ke luar Jawa bertujuan untuk mengurangi beban ekologis kota Jakarta yang sudah sangat berat. Jakarta telah mengalami kemacetan parah, serta polusi dan air yang semakin buruk. Sampai di sini, menurut saya ideal.

Penetapan perpindahan ibu kota ke wilayah Timur Indonesia diharapkan dapat mengurangi kesenjangan dan mewujudkan pembangunan Indonesia yang berkelanjutan, serta mewujudkan ibu kota baru yang sesuai dengan identitas bangsa. Secara spesifik, lokasi inti yang ditetapkan sebagai IKN baru terletak di sebagian wilayah dari dua kabupaten, yaitu Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara.

Pemindahan IKN diharapkan dapat menguatkan ketahanan masyarakat Kalimantan, baik secara ekologi, ekonomi, sosial dan budaya sehingga tidak menyebabkan terpinggirnya masyarakat lokal oleh pendatang. Pendatang tidak hanya ASN namun juga keluarga dan pelaku ekonomi lainnya.

Dalam rencana pemindahan aparatur sipil negara (ASN), berkembang dua skenario yang memperkirakan perpindahan sebesar 182.462 orang ASN dan 118.513 orang ASN (jika dibatasi umur hingga 45 tahun).

Perpindahan ASN tersebut akan diikuti dengan keluarga dan pelaku ekonomi lainnya, yang diperkirakan sebesar 1,5 juta orang di masa mendatang. Masyarakat berharap agar integrasi kehidupan masyarakat yang berkeadilan dapat terjadi sehingga manfaat pembangunan IKN dirasakan oleh seluruh masyarakat Kalimantan khususnya dan Indonesia umumnya.

Lokasi inti IKN direncanakan akan menempati sebagian wilayah Kabupaten PPU dan Kabupaten KuKar. Saat ini, penduduk di Kabupaten PPU berjumlah 160,9 ribu jiwa, dan di Kabupaten Kukar berjumlah 786,1 ribu jiwa. Sedangkan total penduduk Kalimantan Timur saat ini berjumlah 4.448.763 jiwa. Mayoritas penduduk Kalimantan Timur saat ini didominasi oleh pendatang yang berasal dari Jawa, Bugis, dan Banjar, serta berbagai etnis lainnya dalam jumlah yang relatif lebih kecil.

Masyarakat lokal Kalimantan Timur, khususnya Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kecamatan Sepaku di antaranya adalah Suku Pasir. Jumlahnya tidak terlalu banyak. Saat ini, Suku Balik merupakan minoritas di Balikpapan dan Penajam Paser Utara. Di Penajam Paser Utara di kecamatan Sepaku, jumlahnya pada tahun 2023 tidak lebih dari 1.000 jiwa atau 200 KK yang tersebar di tiga wilayah, yakni di Desa Bumi Harapan, Kelurahan Sepaku, dan Pemaluan.

Persepsi menurut Dahlan Iskan, kebenaran baru, yang saya kutip pernyataannya di awal tulisan ini berkaitan juga dengan eksistensi Suku Balik atau Suku Pasir Balik. Di Kelurahan Sepaku atau yang lazim dikenal Logdam.

Pertama, persepsi yang dibangun atau yang muncul adalah tidak adanya alas hak yang yang sah yang dimiliki oleh orang orang Balik. Jadi pemerintah sulit akan memberikan ganti rugi dan atau bahkan memberikan tanah pengganti yang disebut relokasi. Bahkan jika pemerintah mengakali bisa terancam KPK. Nah lo.

Persepsi kedua atau persepsi sempit atau persepsi tertutup yang tidak di viralkan di medsos adalah, lama tinggal orang orang Balik. Sejak tahun 1929 mereka menghuni daratan dan air di sekitar Balikpapan dan Penajam, sampai hari ini tidak bia mensertifikatkan tanahnya, walau ada sebagian kecil yang bisa.

Hingga Indonesia merdeka dan setelahnya atau di tahun 60-70an lahan dan hutan sebagai lahan mata pencaharian Suku Balik dibabati untuk membangun pemukiman transmigrasi dari Jawa. Setelah itu lahan mereka di HGU kan bagi pengusaha eksploitasi hutan. Terakhir dan sempat viral adalah munculnya surat perintah mengosongkan lahan tempat warga Sepaku mendirikan rumah.

Perintah pengosongan lahan dalam waktu tujuh hari ini juga dipersepsikan oleh rakyat Sepaku sebagai kesewenangan berkedok IKN. Persepsi lain yang dibangun oleh Joko Widodo adalah IKN tidak boleh menelantarkan warga lokal. Ini kebenaran baru.(*)
*) Dr. Ir. Sunarto Sastrowardojo, M.Arch – Tenaga Ahli, Pemkab PPU, Direktur Rusa Foundation Indonesia

Leave A Reply

Your email address will not be published.