Kiyai Dahlan, Dua Sultan dan ‘Naga Bengkak’

Catatan Syafril Teha Noer

1,009

KAS Muhammadiyah kosong. Padahal gaji para guru dan karyawan harus dibayar. Operasi sekolah-sekolah musti dibiayai. Apa akal?

Maka, suatu hari-bulan kira-kira tahun 1921, KHA Dahlan memukul kentongan, mengundang warga Kauman, Yogyakarta. Di hadapan mereka pendiri Muhammadiyah ini menyatakan perlu uang 500-an gulden.

Tak meminta mereka urunan. Tak menjual aset-aset organisasi. Tak pula menjadi kaki-tangan penguasa. Demi 500-an gulden itu beliau melelang pakaian, lemari, meja-kursi, tempat-tempat tidur, jam dinding, jam berdiri, lampu-lampu – hampir semua yang beliau miliki.

KHA Dahlan di antara murid-muridnya/fhoto istimewa

Warga Kauman, termasuk murid-murid di pengajian Thaharatul Qulub, terperangah. Sama sekali tak menyangka sebesar itu komitmen dan pengorbanan Sang Kiyai untuk misi pencerdasan anak-anak Bangsa. Mereka, pun juragan batik di Thaharatul Qulub, segera merogoh kantong masing-masing.

Sebentar saja. Terkumpullah lebih dari 4.000 gulden. Pelelangan selesai. Namun barang-barang itu tak bergerak. Tetap di tempat.

”Saudara-saudara, silahkan barang-barang ini sampeyan bawa pulang. Atau saya antar?” Kini giliran beliau yang terperangah. Orang-orang yang sedang bergerak pulang itu menjawab, “Tidak usah, Kiyai. Biar di situ saja. Semua kami kembalikan pada Kiyai”.

“Lalu uang yang terkumpul ini bagaimana?“

“Muhammadiyah kan perlu uang untuk menggaji guru, karyawan dan membiayai sekolah-sekolah?”

“Ya, tapi hanya sekitar 500 gulden. Ini lebih dari 4000 gulden. Sisanya bagaimana?”

“Masukkan saja ke kas Muhammadiyah,” jawab mereka akhirnya.

Kelak, tak kurang dari penguasa Kesultanan Ngayogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono (HB) IX, turut pula andil. Misalnya dalam pembangunan kompleks sekolah dan asrama Madrasah Muallimin Muhammadiyah di bilangan Patang Puluhan. Inilah fasilitas pendidikan bagi para kader yang langsung dikelola Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Jauh sebelum itu HB IX bahkan menyediakan Yogyakarta sebagai ibukota sementara Republik Indonesia yang masih sangat belia. Lengkap dengan segenap fasilitas pemerintahan. Dan tatkala ibukota negara harus kembali ke Jakarta beliau berikan tambahan 6,5 juta gulden ongkos birokrasi.

Mirip dengan yang beliau lakukan, penguasa Kesultanan Siak, Sultan Syarif Kasim (SK) II, pun menyerahkan istana dan uang sebanyak 13 juta gulden (sekarang kira-kira setara dengan Rp1.074 triliun). Seluruh wilayahnya, dari Sumatera Timur, meliputi Melayu Deli, Serdang, Bedagai, hingga Riau dan Kepulauan Riau bergabung ke Republik.

HB IX, SK II bersama istri /fhoto istimewa

Selain (tentu) karena hidayah Allah, entah apa yang kedua raja ini alami. Masa depan Republik belum jelas. Benar sudah merdeka. Tapi akan merdeka seperti apa? Kesejahteraan merata dari Sabang ke Merauke masa-masa itu betapa pun masih angan-angan – wong sekarang saja masih absurd. Begitu pun dengan keutuhan, kedaulatan, dan kemandirian sebagai Bangsa. Semua serba belum jelas.

Sementara, pada saat yang sama, eksistensi Kesultanan Ngayogyakarta dan Kesultanan Siak jelas-jelas jauh lebih jelas. Merdeka, berdaulat, kaya dan raya – ya sejarah, ya sumber daya. Kok ya mau, yang serba jelas berbuat sebanyak itu untuk sesuatu yang serba belum jelas?

Namun, nyatanya, begitulah sejarah Bangsa mencatat nama kedua beliau dalam kilau berlian, dan contoh keteladanan yang insyaallah abadi.

Dapatkah tindakan HB IX dan SK II juga diambil ‘naga-naga bengkak’ penguasa sembilan ‘kerajaan’ bisnis, saat negeri megap-megap dibenam krisis hari-hari ini? Atau benarlah anggapan bahwa keluhuran budi mereka dari kedua sultan terpisah jarak antara langit ketujuh dan inti bumi? ***

Syafril Teha Noer :Wartawan Senior dan Seniman kalimantan Timur

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.