Amanah ummat com- Ketika Allah menyerahkan (menundukkan) segala isi dunia ini untuk kepentingan manusia, Allah mengingatkan kita agar jangan sampai terpikat, terpesona dn terpedaya olehnya. Allah ingatkan bahwa dunia dan segala perhiasannya ini sebenarnya tidaklah lebih kecuali hanya sebagai ujian iman semata. Ia bukan tujuan. Tetapi ia sebenarnya lebih kepada alat saja untuk mencapai sesuatu yang lebih mulia dan abadi. Kehidupan ukhrawi atau akhirat.
“Dan kehidupan dunia itu tidak lain kecuali sekadar kemewahan yang palsu saja”.(Q.3. Ayat : 185)
Namun demikian, karena ia dari sisi nafsu dipandang mampu mengangkat derajat manusia, mampu mendatangkan kesenangan dan kebahagiaan, mampu menghasilkan ketenaran dan kebanggaan, ia pun akhirnya berubah. Semula ia hanya dipandang sebagai alat atau kendaraan saja, tetapi kini ia telah berubah menjadi tujuan. Si Palui jadi Raja, kata orang. Itulah ibarat atau perumpamaannya.
Maka sekarang lihat dan cermatilah kenyataan yang ada disekeliling kita, banyak sekali kita melihat pribadi-pribadi yang tampil sok hebat, sok pintar, dan sok berkuasa. Sungguh kasihan, Palui yang tadinya hanya sebagai petugas yang dipercaya mampu mengantarkan seseorang untuk menghadap Raja, kini malah ia sendiri yang jadi rajanya. Palui yang tadinya berstatus sebagai sarana, kini berubah menjadi tujuan.
Oleh karena itu bagi kita yang masih memiliki iman dan kecerdasan, kita mesti ingat bahwa hidup di dunia ini tidak ubahnya seperti orang yang sedang musafir atau sedang dalam perjalanan yang berhenti sejenak di tepi sebuah telaga. Ketika datang haus, maka sauklah air yang bersih secukupnya, minumlah sekadarnya saja, kemudian segeralah berlalu. Lanjutkan perjalanan, dan jangan berdiam diri disana, sebab tujuan sebenarnya masih jauh di ujung sana.
Demikianlah perumpaan hidup orang-orang yang zuhud itu. Ia memandang bahwa duna bukan tujuan. Dan iapun hanya mengambil dari dunia ini secukupnya saja. Imam Ahmad bin Hambal berkata : “Ada tiga macam zuhud (1) Tekad dan usaha yang kuat untuk menjauhi perkara-perkara yang diharamkan. Inilah zuhudnya orang-orang awam. (2) Tekad dan usaha maksimal untuk menjauhi perkara atau sikap berlebih-lebihan. Inilah zuhudnya orang terpilih. (3) Tekad dan usaha maksimal untuk menjauhi apapun yang bias memalingkan diri dari Allah Swt. Inilah zuhudnya para “arif-billah”.
Namun demikian ada sekelompok orang yang sepertinya amat tidak senang dengan apa yang disebut zuhud itu tadi. Mereka beranggapan bahwa zuhud itu sendiri adalah sesuatu yang berlebih-lebihan. Sesuatu yang tidak dibenarkan oleh agama.
Mereka salah melihat, keliru mengkaji dan khilaf dalam menilai. Padahal yang benar adalah : Zuhud itu tidaklah mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Zuhud bukanlah tindakan berlebih-lebihan. Ia hanya dipandang sebagai amal bathin untuk membentengi diri dari kekeliruan arah dan tujuan hidup yang semestinya.
Orang yang zuhud adalah dia yang tidak akan menukar atau menjual akhiratnya untuk dunianya, walau dengan harga semahal apapun ! Sebab orang yang zuhud paham benar bahwa siapa yang menjual akhiratnya dengan dunia, maka ia pasti akan celaka.
Allah berfirman : “Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong” (Q.2.Ayat : 86). Dalam surah An-Naazi’at ayat 27-29 Allah berfirman : “Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya”.
Kemudian ada pula yang bertanya : “Bagaimana orang yang dianggap zuhud itu memandang dunia? Orang yang zuhud itu tidaklah ia membenci, atau mengharamkan dunia. Ia cuma tidak mau menjadikan dunia sebagai tujuan hidupnya.
Jadi ketika ia oleh Allah di anugerahi atau di limpahi harta yang banyak, maka itu semua tidaklah mampu membuat ia lalai, terlena atau lupa diri. Baginya kekayaan, pangkat, jabatan, kedudukan, ilmu atau apapun dari perhiasan dunia ini hanyalah sebatas ujian iman dan amanah yang mesti disampaikan kepada yang berhak untuk menerimanya, bukan dijadikan alat atau alas an untuk berpoya-poya, bermegah-megah atau berbangga-banggaan diri.
Orang yang zuhud memandang bahwa segala jenis limpahan karunia Allah itu adalah alat atau sarana untuk bisa lebih mendekatkan dirinya kepada Allah. Bukan sebagai modal, sarana, alat atau kesempatan untuk berlaku maksiyat kepada-Nya.
Rasulullah Saw bersabda : “Zuhud di dalam dunia itu bukanlah dengan cara mengharamkan yang halal. Akan tetapi sesungguhnya zuhud dalam urusan dunia adalah, bahwa kamu tidak menggantungkan diri kepada sesuatu selain Allah. Di sini berlaku kaidah : “Ukuran ke zuhudan seseorang itu berbanding lurus dengan kemampuannya untuk memposisikan Allah sebagai satu-satunya Tuhan tempatnya bergantung” atau : “Semakin besar rasa ketergantungan seseorang itu kepada Tuhannya, maka semakin besar dan bermutu pula ke zuhudannya”.
Rasul Saw melalui hadist yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, dan Ibnu Majah mengatakan bahwa : “Zuhud juga berarti suka menggunakan kesempatan yang ada untuk memperoleh pahala”.
Orang yang zuhud sangat membenci kefakiran. Sebab bagaimana mungkin orang zuhud suka kefakiran kalaulah mereka mengetahui benar bahwa ke-fakiran itu nyaris membawa kepada ke-kafiran”.
Ali bin Abi Tholib berkata : “Sesungguhnya ke-fakiran itu berwujud manusia. Aku pasti akan membunuhnya”. Dan ingatlah kita bahwa Saiyidina Ali bin Abi Tholib Ra. Inilah yang oleh kebanyakan ulama Ahlul Hikmah diberi julukan Imamu-zuhdi wal waro’i. Pimpinannya orang-orang yang zuhud lagi waro’. ******